AKHIR PERSINGGAHAN

Beberapa pekan lalu aku sempat menginjak bumi Cemoro Sewu. Menambatkan
seribu mimpi yang terlintas di otakku. Aku juga tiap pagi meluangkan waktu
menghirup udara ‘Bukit Tubbie’ku di Jenggrik. Mensyukuri nikmat Tuhan yang
begitu besarnya.
Dan kini, aku terpukau. Bukan dengan harum cemara, bukan hijaunya ‘Bukit
Tubbie’, bukan jalan yang terkelok-kelok, bukan pula bunga ilalang liar. Namun
gundukan tanah basah yang merah berhias batu nisan. Akhir sebuah perjalanan
hidup. Akhir persinggahan.
Tak tahu kenapa aku tiba-tiba ingin berkunjung kesana. Walau ia tak memiliki
tangan gemulai yang mengawai, walau ia tak memiliki suara merdu yang
memanggil. Tapi aku ingin saja. Tempat itu memang tak mampu memanggil
secara fisik. Namun ia memanggil hati. Entah itu lewat telepati atau entah lewat
apa. Aku tak mampu menerjemahkan bahasanya. Aku hanya mengikuti kata
hatiku.
Tempat itu tak seperti pantai yang memiliki ombak dan deburan yang memecah
kesunyian, sebaliknya ia menyuguhkan sepi yang senyap. Ia berkata dalam
kebisuan. Ia tak memiliki pemandangan cantik layaknya Cemoro Sewu atau
‘Bukit Tubbie’ku. Ia hanya seonggok tanah berhias batu nisan dan mulai
ditumbuhi rerumputan. Sangat simpel. Namun kaya nasehat.
Mungkin sebagian orang tak suka tempat ini. Aku dapat menerkanya dari
jumlah orang yang kutemui disini. Tempat ini angker. Namun aku justru ingin
mengenalnya lebih dekat. Aku ingin berbicara dengannya. Aku ingin ia
bercerita tentang dahsyatnya, tentang ngerinya, tentang misterinya. Namun aku
tak mampu jua menafsirkan kebisuan yang ia lontarkan. Aku hanya mampu
membuka hatiku. Biar ia yang memeras saripati nasehat yang begitu berharga
darinya.
Saat ini aku masih mampu berangan-angan. Saat ini aku masih bisa bermimpi.
Saat ini aku masih bisa berkelana. Saat ini aku masih bisa meminta, berharap
hidup masih panjang untuk menyaksikan perjalanan hidupku. Hanya satu hal
yang mampu memutus semua itu. Hal yang sudah diputuskan tanggal, tempat,
jam hingga detiknya. Peristiwa maha dahsyat yang akan membawa kita ke
gerbang penghubung antara surga dan bara. Gerbang penentu akan ada dimana
kita menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang abadi.
Lalu mana yang akan kita jalani?, keabadian bersama kenikmatan tiada tara atau
keabadian bersama bara? Jawaban itu akan ditemui saat malam pertama di alam
kubur. Disanalah terdapat jawaban yang selama ini dicari. Jika kau dapati kubur
itu seluas pandangan mata dengan taman hijau yang lebih bagus dari apa yang
ada di bumi, maka Tuhan akan menghadiahkan surga. Namun jika kubur
menghimpit dan membuat tulang belulang hancur tanpa sisa, maka sudah pasti
sebaliknya, tuhan akan menghadiahkan bara yang panasnya melebihi magma.
Mati. Sebuah kata yang enggan diperbincangkan. Sebuah kata yang amat
ditakuti oleh yang hidup. Kebanyakan manusia lebih memilih menyibukkan
diri dengan hal yang fana dan mengabaikan kata tersebut. Hanya ketakutan,
kengerian, namun tak ada persiapan.
Aku ingin kuburan bercerita. Apa yang ia lakukan pada seonggok daging dan
tulang belulang yang kini dipeluknya. Jika manusia mampu mendengar apa
yang ada di dalam gundukan itu, ia tak akan mampu. Tuhan sengaja
menyetelnya dengan frekuensi tertentu sehingga semua akan mampu mendengar
adzab yang ada didalamnya kecuali jin dan manusia. Tahu mengapa? Karena
Tuhan lebih tahu bahwa manusia tak akan tahan dengan kengeriannya. Suara
yang pilu lebih dari apapun. Suara siksaan yang lebih kejam dari apapun.
Manusia akan mati ketakutan karenanya. Maka tatkala ku dengar gonggongan
anjing di pemakaman malam itu, aku menerka, mungkin ia mendengar sesuatu.
Sesuatu yang sangat mengerikan baginya.
Sebuah pesan tersurat dalam buku Diorama Sepasang Albana. Sebuah pesan
singkat yang sempat aku tulis dua tahun yang lalu. Diantara suguhan
keromantisan, terselip kata tentang kematian yang tidak pernah terduga. Ironis
namun bermakna.
“Dalam hidup ini, ada kepastian dan ada ketidakpastian. Kita tidak tahu apa
yang terjadi esok. Itu contoh ketidakpastian. Dan sesuatu yang paling pasti
diantara kepastian adalah kematian.
Kematian bukan untuk dijadikan bayangan menakutkan dan membekukan
langkah-langkah kita dalam menempuh hidup ini. Tapi itulah titik kulminatif
kehidupan, titik tuju sarat konsekuensi. Ketika segala sesuatu yang bersifat
materi tak lagi bernilai. Namun amal-amal kitalah yang akan menjadi teman
paling setia dan akan menjadi bekal di yaumul hisab nanti.
Cita-cita, obsesi, ambisi bisa saja melambung tinggi tak terbatas karena
sifatnya yang abstrak. Tapi ada yang akan memenggalnya, yang disebut
kematian.
Ketika seseorang mengingat kematian, disitulah ia baru memulai kehidupan.”
(Diorama Sepasang Albana. Ari Nur)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cebong`s Notez
---- ๑۩۞۩๑ GREENLOVER ๑۩۞۩๑. Template Hijau Blogger---- © Template Disusun ulang oleh Jundab